Thursday, March 02, 2006

Nuning Jangan Menangis

“Benar apa yang dikatakan Dafidh,” ungkap Khodri pada Nuning memecah kebisuan.
Sudah satu setengah jam mereka berada di alam pikiran sendiri-sendiri, mengingat perlakuan orang tua Jupri yang sangat buruk.
Bus Jepara-Semarang terasa berjalan landai, menyusuri liku-liku jiwa Nuning yang kacau.
Mata Nuning menatap tajam pada Khodri, mengharap ada ulasan lanjutan.
Khodri sejenak menghela nafas dalam-dalam.
Lantas diapun tertunduk kembali sambil sesekali mendongakkan kepala melihat liku-liku jalan yang agak lengang.
Jam menunjukkan pukul 20.05 WIB.
Bus sudah melewati kota Kudus.
“Apa yang dikatakan Dafidh?” tanya Nuning sambil terus menatap Khodri, mengharapkan butir-butir jawaban yang dapat menyejukkan lara hati.
“Percuma...”
“Toh... sudah terjadi,” ungkap pendek Khodri, sambil terus menerawang, menghempaskan pandangan pada liku-liku jalan yang semakin sepi, membuang segala kepenatan yang menggelayut di hati.
“OKE... AKU SALAH,” teriak Nuning dengan nada agak tinggi.
“Aku yang merusak rencana teman-temanmu.”
“Aku yang menghilangkan kesempatan emas untuk mendepak Si Krempeng berwajah blo’on itu.”
“Aku memang orang bodoh.”
“Aku orang dungu yang tidak tahu terimakasih.”
“Aku orang tolol yang tidak mengerti kebaikan orang,” ucap Nuning menyesali diri.
“Kesalahanmu sudah sangat besar,” kata Khodri pendek tanpa memandang Nuning.
“Aku memang orang yang menyakitkan.”
“Ucapanku adalah pisau yang menyayat hati.”
“Tindakanku adalah hujaman duri pada luka yang menganga.”
“Aku raja tega, yang selalu memancarkan aura kepedihan dan luka,” sambung Nuning sambil terus menyalahkan diri.
“Bukan hanya itu...” potong Khodri dingin.
“Kamu adalah nanah pada borok yang meradang.”
“Yang kamu pancarkan adalah hawa kebusukan dan pemandangan menjijikkan.”
Nuning menunduk dalam-dalam.
Air matanya dia tumpahkan sekuat tenaga.
“Kamu tahu...”
“Semua santri merasa bergidik ketika melihat kamu.”
“Mereka ingin muntah ketika mendengar suaramu,” tambah Khodri seraya menatap tajam Nuning yang tertunduk penuh penyesalan.
“Nuning...”
“Baumu yang sangat busuk sudah mencemari ladang Surgawi pesantren.”
“Riak-riak kotoran comberan telah kamu tuangkan di telaga putih tempat para santri mengaji dan menimba ilmu dengan kesucian hati.”
Nuning semakin tertunduk.
Tenggorokannya terasa tercekik.
Nuning tidak mampu memproduksi kata-kata.
Ya... Nuning hanya tertunduk penuh penyesalan.
Nuning hanya mampu mengemasi puing-puing kekuatan yang telah runtuh dan kepercayaan diri yang hancur berkeping-keping.
Dia pungut nilai harga diri yang sudah mengkristal, menjadi debu jalanan.
***
3 minggu sebelumnya...
“Fidh... Fidh...,” teriak Mualimin.
“Heeh... molor aja neh anak,” ujarnya sewot sambil terus menggoyang-goyang tubuh Dafidh yang sudah mendengkur sejak pukul 19.40 WIB.
Dafidh adalah santri yang baru 6 bulan tinggal di Pesantren Gaul ini.
Pesantren Gaul adalah pesantren kecil di Semarang yang santrinya 90% sekolah di luar pesantren dan memiliki aktivitas lain selain mengaji di pesantren. Ada yang berjualan koran. Ada yang buka agen susu segar. Ada yang menjadi tukang kunci. Ada yang menjadi pengajar di TPQ-TPQ Kota Semarang.
“Eeeh... Mbah Lim, ada apa?” tanya Dafidh seraya membuka sebelah matanya sedikit.
“Aku pinjam jaket kulitnya ya... Aku mau ikut penyergapan neh,” ucap Mualimin tergesa-gesa.”
“Ente ga’ itba’ ta?” tawar Muallimin.
“Ga’ ah,” ujar Dafidh sambil merobohkan tubuh kembali. Setengah menit kemudian dia sudah terkapar melintasi alam mimpi.
Malam itu adalah malam kemenangan bagi para santri.
Tepat pukul 13.00, diiringi rintik-rintik hujan, salah satu santri senior melihat bayangan berkelebat ke arah kamar Nuning.
30 menit berlalu, tidak ada tanda-tanda bayangan keluar dari kamar tidur Nuning.
Santri senior curiga.
Dia mengontak teman-teman santri untuk mengurung kamar Nuning. Termasuk Muallimin yang sejak tadi sudah siap dengan jaket kulit pinjaman Dafidh.
Penyergapan dilakukan.
Dua insan dalam kemesraan ditangkap ramai-ramai.
Mereka akhirnya diusir dari lingkungan pesantren.
...
Nuning kalang kabut, pikirannya kacau. Dia kehilangan segalanya, kehormatan, harga diri, nama baik.
Segala keunggulan yang dimilikinya sirna dihempas badai kebusukan perbuatannya dan kemurkaan laskar cinta.
Tinggal satu harapannya...
Jupri, si krempeng berwajah blo’on, mau menikahinya.
Dia berharap... pernikahan dapat melunturkan noda dosanya.
Pernikahan dapat membangun kembali harga diri yang keropos dan hancur diterpa badai durjana.
Pernikahan dapat menjunjung tinggi citra kehormatan yang sudah porak poranda.
...
Malang...
Di rumah Jupri, Nuning dilempar bagai anjing yang mengais sampah, mengharapkan daging busuk dari tuan rumah.
Nuning diumpat dan diusir seperti keledai berpenyakit menular.
Nuning didepak seperti binatang najis yang mengotori rumahnya.
Nuning dihujat dan dimaki seperti seekor lalat comberan yang mengharapkan lemparan kotoran sebagai makanannya.
Nuning dibuang bagai sampah.
...
Nuning...
Nuning anak Pak Kyai.
Nuning anak tercantik di pesantren.
Nuning gadis berkulit kuning dan berhidung mancung.
Nuning wanita muslimah bermata indah dan bersuara merdu.
Nuning sang pujaan kawula muda.
Nuning idaman para santri dan ustadz muda.
Nuning, bunga merekah di istana surgawi nan megah.
Kini...
Nuning hanyalah kecoa kamar mandi yang menjijikkan.
Nuning menjadi tikus got dan larva selokan yang tidak ada artinya.
Nuning terpuruk menjadi pengemis cinta yang mengais sisa-sisa asmara dari pria blo’on pujaannya.
***
10 tahun sebelumnya...
“Fiter, ada cewek cantik di rumah Pak Kyai,” kata Sulhan.
“Oh ya..., kapan datang?”
“Barusan masuk nDalem.”
Fiter pun mengintip lewat jendela kamarnya, menanti santriwati baru keluar dari sarangnya.
Tak lama kemudian...
“Waah... cantiknya,” kata Fiter dan Sulhan bersamaan.
“Matanya...”
“Hidungnya...”
“Kulitnya...”
Mereka berdua akhirnya pergi ke alam mimpi, berenang dalam angan-angan, mengitari alunan asmaralaya yang menggelora.
...
Empat tahun berjalan...
Mualimin, Fiter dan Sulhan beranjak menjadi Ustadz muda.
Seiring perjalanan waktu, butir-butir cinta mulai menghinggapi alam ketidak berdayaan mereka.
Cinta akhirnya membentuk segi empat.
Fiter, Sulhan dan Muallimin sama-sama mencintai Nuning.
Nuning dihadapkan pada pilihan rumit.
Muallimin punya kelebihan dari segi fisik. Dia berpostur tinggi, tampan, berkulit kuning dan rajin menghafal al-Qur’an.
Fiter punya kelebihan dalam berbahasa Arab. Dia pandai ilmu agama dan pelajaran umum. Dia favorit di kalangan santriwati.
Sulhan mempunyai kelebihan di bidang wiraswasta. Di samping mengajar di Madrasah Diniyah, dia juga menjaga kantin pesantren untuk tambahan kuliah.
...
Nuning keluar dari lingkaran cinta segi empat.
Dia memilih Jupri, santri senior yang tidak memiliki keunggulan apa-apa selain orang tuanya yang beraliran darah biru.
Jupri anak orang kaya dan hidupnya serba berkecukupan.
Nuning selalu diberi hadiah dan oleh-oleh untuk menambah keakraban.
Nuning merasa tersanjung dan semakin cinta.
Perjalanan cinta mereka berjalan terlalu jauh.
Jupri banyak menuntut kesetiaan dari Nuning.
Nuning memberikan segala yang dia miliki, karena takut kehilangan Jupri.
...
Keadaan berbalik...
Segala kebaikan Nuning dan segala yang diberikan Nuning kini dijadikan sebagai sebagai alat untuk memperdaya Nuning.
Nuning tidak berkutik.
Nuning sudah masuk dalam perangkap Jupri.
Nuning menjadi alat pemuas nafsu Jupri.
Nuning berusaha lari, tetapi cengkraman kuat Jupri tidak dapat dia hindari.
***
Pagi hari setelah penggrebekan...
1 hari sebelum berangkat ke rumah Jupri, Kota Kudus.
“Bang Dafidh, menurut antum pantaskah Nuning pergi ke rumah Jupri untuk minta dinikahi?” tanya Khodri.
“Tidak.”
“Kenapa?”
“Nuning sudah tidak ada harganya di mata Jupri dan keluarganya. Dia hanyalah barang pemuas nafsu.”
“Maksudnya?”
“Ketika berpacaran, Jupri cukup mengeluarkan sedikit hartanya untuk mendapatkan “harta” yang sangat berharga dari Nuning.”
“Kebaikan Jupri hanyalah sebuah pancingan untuk mendapatkan keuntungan berlipat yang sangat besar dari Nuning.”
“Terus?”
“Kalau Nuning menemui keluarganya, maka dia akan diusir oleh keluarganya, karena Nuning tidak memiliki harta berharga untuk ditawarkan pada mereka.”
“Solusinya?”
“Jangan pernah mengajak Pak Kyai untuk pergi ke Kota Kudus. Jangan mengajak keluarga nDalem. Jangan mengatasnamakan pesantren. Berangkatlah sendiri dengan Nuning. Bersiaplah untuk mendapatkan perlakuan buruk.”
“Jangan marah pada keluarga Jupri.”
“Jangan marah pada Nuning.”
“Jangan marah pada nasib.”
“Ajak Nuning untuk introspeksi dan menghindari Jupri sejauh-jauhnya, karena dia masih memiliki ‘kartu truf’ untuk mengendalikan Nuning.”